INTI PADMA

Icon INTI PADMA
SANGGAR
SATTVIKA MEDITASI

Entri Populer

CONTACT

Telepon Call
TELEPHONE & SMS
Hp : 0857-2877-5740 ( m3 ) Hp : 0852-0042-3557 ( AS )

Blackberry Toko Online
BLACKBERRY
7D603818

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0857-2877-5740

DONASI


a/n Ahmad sodik
No: 422-100-320-3267

Anda pengunjung ke

Translate

Rabu

Awaluddin Makrifatullah


Saya punya sahabat, orangnya suka melakukan olah spritual, tapi tidak mau menjalankan syareat, alasannya dia sudah mencapai hakekat. Suatu ketika kami rombongan jalan-jalan, sesampainya di kota lampu merah mati, sedang ada perbaikan, lalu lintas tidak karuan sepeda motor dan becak memotong jalan seenaknya, belum lagi mobil yang pingin saling mendahului membuat suasana panas dan memancing emosi.
Teman saya yang jadi supir saat itu ngomel-ngomel. Lalu saya tanya: “Mengapa kok sampai terjadi keruwetan begini di jalan”? dia menjawab:”Karena mereka tidak punya kesadaran dan moral dalam mematuhi peraturan berlalu lintas, apalagi lampu merah padam, jadi menambah keruwetan di jalan.” Sayapun menjawab: “di jalan raya saja kita butuh peraturan dan undang-undang agar pengemudi bisa tertib, sehingga tidak terjadi tabrakan dan kecelakaan, lalu bagaimana mungkin seseorang hidup di dunia dengan meninggalkan syareat sebagai pedoman, maka yang terjadi hidupnya bakal kacau seperti kondisi jalan raya ini”. Teman saya diam dan tidak bisa menjawab.

Suatu ketika ada orang menjelaskan kepada saya, bahwa syareat itu tidak perlu, untuk apa kita sholat, kalau belum tahu siapa yang kita sembah, bukankah dalam sebuah hadits disebutkan awalluddin makrifatullah (dasar awal beragama adalah mengenal Allah)?
Sehingga mereka beranggapan seseorang belum mencapai makrifat kepada Allah maka tidak wajib menjalankan sholat, karena Nabi muhammad dapat wahyu kewajiban sholat setelah beliau makrifat kepada Allah.

Untuk menjawab penyataan di atas, agar mudah difahami dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Awalluddin Makrifatullah

Klaim di atas sepintas kelihatannya benar, tetapi sayang banyak orang yang salah faham dalam memahami hadits awalludin makrifatullah. Dalam kitab-kitab hadits tidak ada satupun hadits yang menyatakan awalluddin makrifatullah, yang ada adalah adalah atsar yaitu ucapan sahabat yaitu ucapan Imam Ali bin Abi Tholib, untuk lebih jelasnya adalah:

قال أمير المؤمنين علي بن أبي طالب أَوَّلُ الدِّينِ مَعْرِفَتُهُ ، وَ كَمَالُ مَعْرِفَتِهِ التَّصْدِيقُ بِهِ ، وَ كَمَالُ التَّصْدِيقِ بِهِ تَوْحِيدُهُ ، وَ كَمَالُ تَوْحِيدِهِ الْإِخْلَاصُ لَهُ ، وَ كَمَالُ الْإِخْلَاصِ لَهُ نَفْيُ الصِّفَاتِ عَنْهُ ، لِشَهَادَةِ كُلِّ صِفَةٍ أَنَّهَا غَيْرُ الْمَوْصُوفِ ، وَ شَهَادَةِ كُلِّ مَوْصُوفٍ أَنَّهُ غَيْرُ الصِّفَةِ ، فَمَنْ وَصَفَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ فَقَدْ قَرَنَهُ ، وَ مَنْ قَرَنَهُ فَقَدْ ثَنَّاهُ ، وَ مَنْ ثَنَّاهُ فَقَدْ جَزَّأَهُ ، وَ مَنْ جَزَّأَهُ فَقَدْ جَهِلَهُ ، وَ مَنْ جَهِلَهُ فَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ ، وَ مَنْ أَشَارَ إِلَيْهِ فَقَدْ حَدَّهُ ، وَ مَنْ حَدَّهُ فَقَدْ عَدَّهُ ، وَ مَنْ قَالَ فِيمَ فَقَدْ ضَمَّنَهُ ، وَ مَنْ قَالَ عَلَا مَ فَقَدْ أَخْلَى مِنْهُ .كَائِنٌ لَا عَنْ حَدَثٍ ، مَوْجُودٌ لَا عَنْ عَدَمٍ ، مَعَ كُلِّ شَيْءٍ لَا بِمُقَارَنَةٍ ، وَ غَيْرُ كُلِّ شَيْءٍ لَا بِمُزَايَلَةٍ ، فَاعِلٌ لَا بِمَعْنَى الْحَرَكَاتِ وَ الْآلَةِ ، بَصِيرٌ إِذْ لَا مَنْظُورَ إِلَيْهِ مِنْ خَلْقِهِ ، مُتَوَحِّدٌ إِذْ لَا سَكَنَ يَسْتَأْنِسُ بِهِ ، وَ لَا يَسْتَوْحِشُ لِفَقْدِهِ " ،

Imam Ali berkata : “Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat berbeda dengan apa yang disifatkan dengannya, dan setiap yang disifati berbeda dengan sifat itu. Barangsiapa yang mensifati Allah, maka mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia menganggap-Nya dua, dan siapa menganggap-Nya dua, berarti membagi-bagi-Nya, dan barangsiapa membagi-bagi-Nya, berarti ia tidak mengenal-Nya. Dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia akan menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya, maka ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya, berarti ia mengatakan jumlah-Nya.

Barangsiapa menyatakan bahwa “Dia berada dalam apa”, berarti ia membuat-Nya bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa Dia berada” maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu lainnya. Dia Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Dia ada tetapi bukan berasal dari ketiadaan. la bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Dia berbuat tetapi tanpa gerakan dan alat. Dia melihat meskipun tidak ada ciptaan-Nya yang dilihat. Dia Esa sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang bersekutu dengannya atau yang Dia akan kehilangan karena ketiadaannya.” (Nahjul Balaghah, Khutbah 1) [1]

Imam Ali ditanya oleh seseorang, “Dengan apa engkau memahami Tuhanmu?” Imam Ali menjawab, “Dengan cara sebagaimana Dia mengenalkan diri-Nya kepadaku?” Kemudian ditanyakan lagi, “Bagaimana Dia mengenalkan dirinya kepadamu?”. Imam Ali menjawab, “Dia tidak menyerupai suatu bentuk dan Dia tidak dapat dirasakan dengan indera dan tidak bisa dikiyaskan dengan manusia. Dia dekat dalam kejauhan-Nya, dan Dia jauh dalam kedekatan-Nya. Dia berada di atas segala sesuatu dan tidak dapat dikatakan sesuatu di atasnya. Dia di depan segala sesuatu tetapi tidak dapat dikatakan (Dia) memilki depan. Dia di dalam segala sesuatu, tetapi tidak seperti sesuatu yang (berada) di dalam sesuatu lainnya. Dia di luar segala sesuatu tetapi tidak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu. Maha Suci Dia yang seperti ini dan tidak ada yang seperti ini selain-Nya. Dan segala sesuatu itu ada permulaannya.” [2]

Dari kedua riwayat di atas, justru mejelaskan bahwa dasar agama adalah mengenal Allah dengan benar sesuai dengan dalil al-Qur’an dan Hadits sebagai bekal untuk makrifatullah. Jadi mengenal Allah ada dua tahap, yang pertama mengenal Allah dengan ilmu atau aqidah yang benar, sedangkan tahapan yang kedua adalah mengenl aAllah dengan Syuhud (makrifat).

2. Sholatnya Nabi sebelum Isro’ Mi’roj.

Orang-orang yang tidak menjalankan syareat, terutama tidak menjalankan sholat dengan alasan bahwa nabi menjalankan sholat setelah mencapai makrifat. Maka pendapat di atas sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melanggar syareat. Karena seelum perintah sholat diwajibkan, Nabi sudh menjalanka sholat tetapi sifatnya bukan wajib, melainkan sunnah.

Berikut ini dalil-dalil yang menyatakan bahwa sebelum Isro’ Mi’roj nabi sudah melaksanakan sholat:
Terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, (kisah ini terjadi sebelum perintah sholat wajib) ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam,

يَقُولُ : اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ؛ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ

Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk shalat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim ). [3]
Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah shalat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan… Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa shalat, sebelum shalat diwajibkan (shalat 5 waktu). [4]
Sebagian ulama mengatakan, kewajiban shalat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah – seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik,

كان بدءُ الصيام أمِروا بثلاثة أيام من كل شهر ، وركعتين غدوة ، وركعتين عشية

Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan shalat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore. [5]
Dalil berikutnya adalah tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjadi imam nabi-nabi yang lain pada saat peristiwa isra mi’raj. Shalat apakah yang beliau lakukan?
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian Isra’ Mi’raj, diantara penggalannya,

ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ

“Kemudian aku masuk masjid (Al-Aqsa) dan aku shalat 2 rakaat.” (HR. Muslim) [6]
Dari riwayat di atas, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal shalat sebelum peristiwa isra mi’raj. Padahal saat itu sholat belum diwajibkan.

Maka sungguh aneh orang-orang hakekat yang tidak mau mengerjakan sholat, padahal Nabi sendiri da para sahabatnya sudah melaksanakan sholat sebelum perintah wajibnya sholat lima waktu.
Di samping itu sangat aneh sekali, satu sisi mencari dan bermakrifat kepada Allah, tetapi sisi lain justru tidak menjalankan perintah dari Allah yaitu sholat lima waktu. Di sinilah letak kelemahan pemikiran mereka padahal salah satu syarat untuk menuju makrifat kepada Allah adalah dengan taqwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, sedangkan sholat adalah perintah allah.


Daftar Isi
[1] http://www.haydarya.com/maktaba_moktasah/07/book_00/main.htm
[2] (Syaikh Kulaini dalam kitabnya Ushul al-Kafi bab “Annahu la Yu’raf illa Bihi”. http://www.alseraj.net/…/k…/html/ara/books/al-kafi-1/27.html)
[3] (Riwayat Bukhori
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php…
Riwayat Muslim
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…)
[4] Ibn Rajab, Fathul Bari, http://library.islamweb.net/newlibrary/ display_book.php?idfrom=1&idto=12&bk_no=52&ID=2).
[5] Tafsir At-Thabari, http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura2-aya187.html
[6] http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…

 

by: Cahaya Gusti

0 komentar:

Posting Komentar