INTI PADMA

Icon INTI PADMA
SANGGAR
SATTVIKA MEDITASI

Entri Populer

CONTACT

Telepon Call
TELEPHONE & SMS
Hp : 0857-2877-5740 ( m3 ) Hp : 0852-0042-3557 ( AS )

Blackberry Toko Online
BLACKBERRY
7D603818

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0857-2877-5740

DONASI


a/n Ahmad sodik
No: 422-100-320-3267

Anda pengunjung ke

Translate

Rabu

SHOLAT

YANG MENYEMBAH DAN YANG DISEMBAH


Al-Fateha: Kunci Sholat
Al-Fateha termasuk salah satu rukun dalam sholat, jika waktu sholat seseorang tidak membaca al-fateha maka sholatnya tidak syah, kecuali dalam kondisi darurat, misalkan tidak bisa baca al-fateha atau ketinggalan ketika berjamaah.

Dalil bahwa Fatihah adalah rukun shalat adalah sabda Rasulullah
:
” لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ”

Artinya: “Tiada Shalat Bagi Siapa Yang Tidak Membaca Pembuka Al-Quran (Fatihah) (Hr. Bukhori-Muslim)” [1].

Dalam hadits Qudsi yang panjang disebutkan bahwa:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
».
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.” Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang imam. Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. “ (Hr. Muslim)[2]

Syekh Abdul Karim al-Jilli dalam kitabnya Insan Kamil menjelaskan makna al-fateha, Sebagai suatu isyarat bahwasanya wujud itu terbagi antara makhluk dengan Khaliq. Manusia yang merupakan ciptaan-Nya, laksana wujud lahir al-Haq. Dengan demikian sifat-sifat diri al-Haq sejatinya adalah juga sifat-sifat diri Muhammad Saw.

Iyyakana’budu artinya Hanya Engkaulah yang Kami sembah, maksudnya adalah Allah berkata dengan Diri-Nya sendiri, makna tersirat dari redaksi bacaan itu adalah Allah menggambarkan di samping Dia sebagai Pembicara, Allah juga memposisikan diri-Nya sebagai lawan bicara. Padahal ungkapan Hanya Engkaulah yang Kami sembah sejatinya sang Pembicara adalah Allah.
Dia berbicara kepada Diri-Nya. Dia penyembah Diri-Nya dengan media penampakan atau tajalli para makhluk-Nya. Dia-lah sejatinya yang menyembah, dengan jalan jalan penampakan diri para Makhluk-Nya, Dia yang menggerakkan dan yang Menghentikan mereka. Maka ritual ibadah (sholat) para makhluk-Nya (hamba-Nya), sejatinya adalah ritual ibadah antara Allah kepada Diri-Nya sendiri.
Karena keber-Ada-an Allah pada diri para hamba-Nya adalah dengan wajah pemberian hak nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang termanifestasikan pada diri hamba-Nya. Dengan demikian ritual penyembahan (sholat) makhluk-Nya, hakekatnya adalah ritual penyembahan Allah sendiri, sedangkan dhohirnya berupa ritual ibadah para hamba-Nya.

Kemudian Dia berbicara dengan Hak-Nya, melalui lisan ciptaan-Nya, “Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”, ayat ini berdimensi Ketuhanan dan kemakhlukan (khalik dan Makhluk), adalah merupakan hak preogratif Alah, apakah Dia bebicara Diri dengan kalam yang diperdengarkan dengan pendengaran makhluk, atau berbicara Diri dengan kalam Makhluk-Nya,yang diperdengarkan pendengaran al-Haq. Dia maha berkehendak atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.
Meski pada hakekatnya Dia menyembah Dirinya sendiri melalui ritual ibadah para makhluk-Nya. Namun Dia mengingatkan kita akan kesaksian yang kita persaksikan dalam ibadah kita, karenanya Allah berfirman; “Hanya Engkaulah kami mohon pertolongan”. Agar kita menyadari diri kita sendiri bahwasanya hakekat usaha, kekuatan dan kodrat kita, dalam beribadah dan berubudiyyah sejatinya adalah usaha, kekuatan dan kodrat-Nya, semuanya berasal dari Allah.

Perhatikan benar masalah ini pada diri kita, jangan sampai lupa, karena dengan menyadari diri ritual ibadah (menyembah) seperti inilah kita akan sampai pada Makrifat Ke-Tunggalan-Nya, hal ini akan menghantarkan kita pada penyaksian Tajalli-Nya dengan penglihatan hakiki. [3]
Takbiratul Ihram: Kunci Miroj Ruhani
Jadi shalat itu Diri Allah menyembah Allah. Karena yang Ada hanya Wujud Allah, tidak ada yang lain. Jadi, yang dikehendaki makrifat dalam tauhid itu: shalat itu kehendak Allah dan yang shalat itu Rahasia Allah. Maka barang siapa yang belum mengenal dirinya sendiri, sholatnya tidak bermakna, karena tidak mengetahui siapa yang menyembah dan siapa yang disembah.

Maka ketika kita sholat, kita dianjurkan untuk senantiasa menyadari bahwa kita ini adalah fana, tiada diri kita . Saat mengucapkan Allahu Akbar, lenyaplah diri kita ini. Kita sadari bahwa wujud kita yang sejati, yaitu tiada berwujud apapun juga. Sehingga ketika kita memahami bahwa hanya ada satu wujud yang ada yaitu Allah swt.
Agar sholat kita bisa mencapai mi’roj, maka matikan dulu diri kita sebelum shalat. Mematikan diri dalam shalat itu bukan mentiadakan diri, bukan mengosong-kosongkan diri, bukan juga merasa-rasakan diri tiada. Mematikan diri itu maksudnya: Kembalikanlah hak-hak Tuhan itu sebelum kita “mati.”
Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ قَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah. Berilah aku nasehat yang ringkas.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu akan meminta udzur karena ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap apa yang ditangan orang lain.”( Ahmad Bin Hanbal)
 Dalam hadis lain disebutkan juga:

موتوا قبل ان تموتوا

Jalaluddin rumi menafsirkan hadis Nabi Saw.: Mutu qabla an tamutu. Matilah kamu sebelum kamu mati. Di sini disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan ada dua kematian. Kematian pada kata tamutu adalah kematian alami, almaut al-thabi`i, dan inilah kematian yang kita kenal. Ibnu `arabi dan para sufi lainnya menganggap kematian ini sebagai kembali kepada Allah secara terpaksa, ruju` idhtirari. Semua makhluk akan mengalami kematian jenis ini, suka ataupun tidak suka. Sedangkan kematian pada kata perintah mutu adalah kematian mistikal. Kematian ego, atau kematian diri. Ibnu Arabi menyebutnya dengan maut al-iradi atau kematian keinginan.[4]

Untuk itu sebelum kita mendirikan sholat hendaklah kita “mematikan” diri terlebih dahulu dari hal-hal:

"Laa af`alun illallah" <=== tiada tubuh
"Laa asma`un illallah." <=== tiada nyawa
"Laa maujudun illa shifatun illallah" <=== tiada perbuatan
"Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah." <=== tiada diri

Pada akhirnya kita akan sampai pada pemahaman bahwa ini atau esensi dari sholat adalah pengosongan diri, peniadaan diri, peleburan diri LA ILAHA ILALLAH. Tiada ilah atau persembahan, titik pandang atau apapun juga kecuali Allah. Ini adalah Mi’rojul Mukmin yaitu memahami menghayati ada NYA dan tak pernah putus dalam hati “melihat” Tuhan ketika sholat. Sehingga tak adalagi aku (ingsun) dan Allah, yang ada hanyalah Allah Yang Maha Esa atau Tunggal.

Inilah mematikan diri sebelum mati. Inilah shalatnya orang muntahi, shalat tingkat penghabisan ( tingkat tinggi). Maka sangat aneh sekali jika ada orang yang muslim yang mengklaim dirinya hakekat akan tetapi meninggalkan sholat....?!





Semoga semua makhluk diberi cahaya oleh Allah......


Literatur:
[1.]
Hadits Bukhori: http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
Hadits Muslim:
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
[2.] http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
[3]. Syekh Abdul Karim Al-Jilli, Insan Kamil, Bab: Ummul Kitab, hal. 211. Bisa diunduh di: http://www.ketabpedia.com/43931
[4]. Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 116



by :Cahaya Gusti

1 komentar: